Mariska Lubis adalah seorang pengamat sosial dan politik, berdomisili di Bandung, menulis tentang sosok yang Mulia Teungku Hasan Muhammad Di Tiro, berikut tulisanya..
Terpana menatap sebuah foto tua
dengan gambar seorang pria yang sangat tampan. Sorot matanya lembut namun
sangat tajam, tampak jelas intelektualitasnya. Setelah tahu, siapa yang ada di
dalam foto itu, hati ini pun semakin terpesona. Jarang sekali ada pria tampan
yang jenius seperti beliau. Biarpun disisihkan dan dibuang meski dielukan juga.
Tidak mudah untuk mengerti mereka yang berpikiran jauh ke depan.
Tadinya saya pikir beliau adalah
ayah dari salah seorang sahabat saya karena wajahnya sangat mirip. Aura dan
rona dari wajah dan penampilannya pun serupa. Saya benar-benar terpana
menatapnya. Barangkali, jika beliau masih ada dan muda seperti nampak di dalam
foto itu, saya bisa jatuh cinta padanya.
Ketika saya diberitahu siapa yang
ada di dalam foto itu, saya semakin jatuh cinta saja. Dia memang seorang pria
yang sangat jenius dan luar biasa kemampuan intelektualitasnya. Sayangnya,
bahkan mereka yang mengelu-elukannya pun barangkali tidak bisa merasakan dan
menangkap dengan lebih jauh arti dan makna dari setiap kata yang diuraikannya.
Beliau malah disia-siakan dan disingkirkan begitu saja. Hanya dijadikan simbol
semata.
Yah, nasib orang yang memiliki
pemikiran modern. Terlalu banyak mereka yang mengaku modern tetapi sesungguhnya
sangat terbelakang di dalam pemikiran. Penampilannya saja yang kelihatan hebat,
tetapi untuk membaca pun hanya mampu sekedar aksara semata. Mata hati itu sudah
tertutup dengan kesombongan dan berbagai kepentingan pribadi serta kelompok
hingga lupa diri dan besar kepala.
Saya pernah menulis artikel
tentang bagaimana untuk bisa mengerti apa yang beliau maksudkan. Tentunya tidak
semudah membaca aksara begitu saja, dibutuhkan pemikiran yang sangat dalam
serta wawasan yang sangat luas sekali. Harus tahu bagaimana sejarah tentang apa
yang mempengaruhi pemikiran-pemikirannya tersebut. Jika tidak, maka akan sangat
sulit untuk mampu menerjemahkannya.
Bisa jadi, saya yang memang sok
tahu atau tidak waras. Saya melihat beliau dari sudut pandang saya sendiri yang
tentunya merupakan keegoisan dari diri saya sendiri juga. Yang lebih banyak
tahu seharusnya mereka yang memang menjadikan beliau panutan dan
mengelu-elukannya, kan?! Begitu juga dengan mereka yang menganggapnya sampah
dan mengucilkannya. Saya tahu apa, sih?!
Jadi teringat dengan kata-kata
seorang teman di BBM yang dia bagikan juga di Tweet, dia mengatakan bahwa di
daerahnya, sejarah adalah untuk diingat lewat ucapan dan bukan melalui catatan
atau tulisan. Saya tentunya sangat terkejut sekali, mengingat dia berasal dari
daerah yang kaya sekali akan catatan sejarah. Kata-kata yang terurai dari
orang-orang di sana terkenal sangat indah dan penuh makna pada waktu yang lalu.
Pantas saja bila sekarang banyak yang berubah. Entah ini disengaja atau tidak,
disadari atau tidak disadari, diakui tidak diakui.
Wajar jugalah bila kemudian
daerah ini terus diliputi konflik yang berkepanjangan. Bagaimana mungkin sebuah
wilayah bila mendapatkan perdamaiannya bila sudah kehilangan jati dirinya?
Bagaimana juga bisa menjadi hebat bila sudah melupakan sejarah yang pernah
membuatnya luar biasa?! Bagaimana sebuah wilayah bisa bertahan dan
mempertahankan diri bila tidak memiliki kekuatan yang berasal dari dalam
dirinya sendiri?! Yakin dan percaya dengan diri sendiri pun tidak.
Jika memang benar memiliki jati
diri, tentunya tidak akan mudah digoyah dan mampu mempertahankan diri
menggunakan kehebatannya. Tidak mudah untuk “menyerang” dan “melumpuhkan” bila
memang sudah kuat pondasinya. Dinding bisa saja roboh tetapi pondasi yang kuat
akan terus bisa mempertahankannya. Pohon yang kuat pun bisa saja tumbang dahan
dan gugur daunnya, tetapi tidak akarnya.
Jika pun memang benar menghormati
sejarah dan semua perjuangan yang telah dilakukan di masa lampau, tentunya pria
tampan berotak jenius itu pun tidak akan diremehkan begitu saja. Tidak hanya
dijadikan simbol semata tetapi benar dipelajari dan dirasakan. Keindahan
seseorang yang telah memberikan yang terbaik, kok, bisa terhapus begitu saja
oleh “kepentingan” pribadi dan kelompok?! Bagaimana dengan cita-cita dan
seluruh perjuangannya itu?! Rasa hormat dan penghargaan bukan hanya sekedar di
mulut tetapi diperlukan kesungguhan dan ketulusan hati!
Yang paling membuat saya
terbengong-bengong adalah bila selalu saja ada tuduhan dan tudingan yang
mengarahkan kepada yang lainnya. Malu atau takut, ya, kalau bercermin?! Tidak
juga memiliki nyali untuk mengakui semua kesalahan yang telah dibuat oleh
diri?! Padahal, selalu saja mengumbar kata “Tuhan” dan mengagungkan segala
moral dan aturan yang dibuat-Nya. Kenapa, dong, yang paling mendasar pun tidak
dilakukan?! Untuk apa semua aturan itu dibuat bila hanya untuk sekedar
penampilan dan untuk mendapatkan “nilai”?!
Sekarang ini, di mana semua yang
ada itu?! Kenapa berusaha keras untuk menjadi yang lain?! Kenapa tidak berusaha
untuk menjadi diri sendiri?! Memang tidak mudah, tetapi jika memang benar ingin
bahagia, damai, dan tentram, tentunya jati diri seharusnya menjadi prioritas
utama. Untuk apa repot-repot menjadi “yang lain” bila apa yang ada di dalam
diri sesungguhnya merupakan emas terindah dan paling berharga?! Tidakkah ada
rasa cinta sedikit pun untuk diberikan?!
Terkadang saya suka capek sendiri
jika harus melihat fakta dan kenyataan yang ada sekarang ini di daerah itu.
Mengaku hebat tetapi justru sudah banyak terpengaruh. Budaya politiknya saja
sudah sangat berubah, tidak lagi mampu untuk menggetarkan dunia. Sudah seperti
katak saja. Yang ada di samping disingkirkan, sementara yang di bawah terus
diinjak. Sementara mulut terus menganga menanti umpan yang lewat untuk
dinikmati sendiri hingga kenyang. Menjulurkan lidah ke kiri kanan
sepanjang-panjangnya untuk bisa menangkap santapan. Lupa dengan yang lainnya
meski mengaku peduli dan berbuat untuk semua. Bagaimana mau memiliki masa depan
dan kehidupan yang lebih baik?!
Lihat saja bagaimana mudahnya
masyarakat digiring oleh opini yang dibuat oleh media-media “berbayar”.
Subjektifitas dikedepankan dan objektifitas itu sudah tidak ada lagi. Sudah
seperti bola yang ditendang ke sana ke mari tanpa pernah gol. Yang paling parah
bukanlah mereka yang berstatus sosial ekonomi rendah ataupun tak berpendidikan,
tetapi justru mereka yang mengaku elite dan berpendidikan tinggi. Mereka yang
mengaku pejuang dan pahlawan! Semakin jelas sudah bagaimana pembodohan dan
kebodohan itu sudah menjadi sebuah kubangan lumpur yang terus menyeret ke
dalam. Tak jelas apa karena sombong, takut, atau pura-pura tidak tahu.
Dusta itu sudah sedemikian luar
biasanya hingga merusak diri sendiri. Pelecehan seksual, KDRT, dan berbagai
masalah seks lainnya pun ditutupi seolah tak ada. Mereka yang jelas-jelas sudah
melakukan perbuatan kriminal terhadap istri dan keluarganya sendiri pun bisa
dipuja. Mereka yang sudah jelas-jelas melecehkan orang yang menjadi simbol
daerah itu pun terus saja diangkat-angkat. Bagaimana orang yang benar-benar
berjuang untuk masa depan dan kehidupan lebih baik tidak mati?! Baru bergerak
sedikit saja sudah “dibunuh”! Apanya yang hebat?! Beranikah mengaku secara
jujur dan terang-terangan kepada semua atas apa yang sebenarnya terjadi dan apa
yang sudah dilakukan?! Paling-paling juga mengirim orang suruhan yang mau saja
dibodohi dengan berbagai alasannya untuk membuntuti, memata-matai, lalu
ujung-ujungnya “melenyapkan”. Pemberanikah?!
Sudahlah! Percuma juga saya
menuliskan semua ini. Tidak akan ada gunanya. Saya juga hanya “alien” yang sok
tahu saja. “Kekinian” memang sudah menjadi budaya yang dianggap wajar, lumrah,
dan benar sekarang ini. Masa depan itu seolah tak pernah ada dan kehidupan yang
lebih baik hanyalah mimpi di siang bolong. Yang penting sekarang, nanti ya,
bagaimana nanti! Begitu, kan, ya?!
Mariska Lubis |
Akhir kata, saya ingin menyampaikan saja bahwa pria yang sudah membuat saya
terpesona dan jatuh cinta itu bernama Hasan Tiro. Semoga semua mau menghormati
dan menghargainya terutama bagi mereka yang berani untuk mengaku dengan gagah
berani sebagai “ureung aceh”. Kapankah ada yang dengan bangganya mampu
berkata dengan kesungguhan hati bahwa “Saya adalah Aceh”?!
Oleh Mariska Lubis.
sumber:AcehCorner.com