Jika pembentukan Partai Lokal Baru bukan sekedar "peusak hop" dan gertak politik untuk keperluan merawat konstituen di ajang Pilkada 2012 agar tidak berlarian ke kubu lain, akankah sanggup melawan Partai Aceh (PA)?
Dari berita berbagai media, terkabarkan bahwa pada Kamis, 16 Februari 2012, Irwandi Yusuf dan Sofyan Dawod bersama sejumlah mantan panglima GAM mengadakan pertemuan di hotel Hermes Palace Banda Aceh dan telah memutuskan untuk membentuk partai lokal baru di Aceh.
Masih menurut media, disebutkan ada 12 nama mantan panglima GAM yang mendukung Irwandi-Muhyan sebagai calon Gubernur/Wakil Gubernur Aceh ke depan juga ikut mendukung ide pembentukan Partai Lokal Baru.
Meski tidak ada yang luar biasa dari barisan pendukung yang ada namun ada dua hal yang menarik perhatian, yaitu; munculnya nama Saiful Cagee dan Abu Sanusi. Cagee kita ketahui bersama telah almarhum, sedangkan Abu Sanusi telah membantahnya. Lewat Syahrul, Ketua PA Aceh Timur, Abu Sanusi bilang, "saya tak pernah dihubungi. Itu politik. Saya tak tahu menahu hal tersebut.” Apakah ini disengaja atau sebuah keteledoran karena gabuek dan tidak teliti? Wallahualam.
Kembali ke ide pembentukan partai lokal baru. Menarik untuk mengulas beberapa hal, yakni semangat pembentukan partai untuk melawan atau bersaing dengan PA, klaim awal bahwa partai lokal baru lebih baik dari partai nasional, hasrat untuk menyelamatkan MoU Helsinki karena PA ibarat perahu bocor, dan partai lokal baru yang tidak akan menerima orang-orang PA. Sebuah pernyataan yang kelihatan bagus untuk ilustrasi namun akan segera terkesan dangkal dari sisi logika politik.
Betapa tidak, secara logika, pernyataan yang disampaikan Sofyan Dawod itu, sebagaimana bisa dibaca di media, secara langsung berpotensi menciptakan rasa permusuhan dengan PA dan juga dengan semua partai nasional. Ketika telah bermusuhan dengan partai, artinya telah bermusuhan dengan pendukungnya dan juga telah menciptakan musuh masa depan bagi mereka sendiri.
Jika niatnya ingin melawan PA, Sofyan Dawod seharusnya mengajak dan merangkul semua partai lain selain PA, baik partai lokal maupun partai nasional untuk bergabung dan bermitra dengan partainya yang akan dibentuk. Semakin banyak partai yang menjadi mitra, maka akan semakin kuat posisi partainya untuk melawan PA, bukan malah mencari permusuhan dengan partai lainnya. Dalam langkah politik, bukankah kita memerlukan banyak mitra untuk memperebutkan hati konstituen.
Langkah yang dilakukan oleh Sofyan Dawod dan Irwandi Yusuf itu tentu sangat berbeda dengan langkah politik yang ditempuh oleh PA. PA walaupun telah terbukti sebagai partai lokal terkuat di Aceh, namun masih tetap berusaha mencari dan bermitra dengan partai lokal lainnya dan juga partai nasional.
Hal itu terlihat pada saat Deklarasi Kandidat Gubernur/Wakil Gubernur bersama 15 pasangan calon Bupati/Wakil Bupati dan calon Walikota/Wakil Walikota di Banda Aceh. Partai Amanat Nasional (PAN) dan Forum Lintas Partai Politik Aceh (FLP2A) menyatakan dukungannya terhadap pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf sebagai calon gubernur dan wakil gubernur yang diusung Partai Aceh.
Langkah itu, tentu akan memperkuat dukungan untuk PA dan juga mengecilkan perlawanan terhadap PA. Mestinya, penggagas partai lokal baru mau belajar dari PA jika memang berhasrat menjadi yang terbaik. Tak ada salah untuk belajar meski dari pihak yang kini kita benci.
Kendala Partai Lokal Baru
Sebagai pembelajaran saja, membentuk partai lokal baru akan memerlukan energi dan finansial yang sangat besar, juga akan menghadapi banyak kendala. Pertama, harus menyediakan kantor perwakilan, kelengkapan serta pengurus di setiap Kabupaten/Kota hingga kecamatan di seluruh Aceh.
Kedua, jika hasrat membentuk “partai lokal baru” untuk melawan PA, maka akan ada penentangan dari pendukung PA di lapangan, baik pada saat pembentukan kantor, kepengurusan, perekrutan kader dan sosialisasi. Hal ini tentu akan menghabiskan energi yang banyak.
Ketiga, KPA di lapangan dan masyarakat telah mengetahui bahwa kader “partai lokal baru” tersebut adalah mereka yang telah “dipecat” dari organisasi KPA/PA, dan mungkin di lapangan ada yang mengambil sikap berlawanan dengan mereka. Ini akan menjadi isu yang sangat sensitif dan image negatif bagi mereka. Akibatnya, akan menguras banyak energi untuk menjelaskannya di lapangan.
Kendala besar lainnya untuk diingatkan pada penggagas partai baru ini adalah mereka belum teruji kekuatannya dalam pemilihan baik legislatif maupun eksekutif. Ini seperti membentuk sebuah club bola baru yang belum pernah melakukan pertandingan, bahkan latihan sajapun belum pernah dilakukan, lalu bagaimana kita bisa mengukur ataupun berani mengklaim bahwa club tersebut akan lebih tangguh dari club yang sudah ada?
Sebagai orang yang pernah bersama dan sangat dekat dengan Sofyan Dawod dan Irwandi Yusuf, dengan menganalisa beberapa pernyataan mereka di sejumlah media, Saya berpendapat bahwa pembentukan “partai lokal baru” ini lebih terlihat sebagai wadah “peusak ‘hop” melawan pemimpin dan hanya akan menciptakan permusuhan antar anggota KPA dan juga sesama rakyat Aceh, apalagi Sofyan Dawod telah menyatakan bahwa Partai baru ini tidak akan menerima orang-orang PA. Ini jelas telah menebarkan kebencian dan menciptakan permusuhan.
Sebaiknya seorang petinggi seperti Sofyan Dawod dan Irwandi Yusuf, walau bagaimanapun juga mereka telah berjasa dalam perjuangan GAM dapat berpikir dengan bijak, tidak mengeluarkan pernyataan yang dapat menciptakan instabilitas politik dan keamanan di Aceh.
Seharusnya pembentukan “partai lokal baru” sebagai wadah mempersatukan rakyat Aceh, bukan malah menebarkan kebencian dan menciptakan permusuhan sesama rakyat Aceh, sehingga akan dapat mencerai-beraikan rakyat Aceh.
Kita boleh berbeda misi tetapi visi semua harus sama yaitu untuk membangun Aceh yang lebih baik, memakmurkan, mensejahterakan dan meningkatkan harga diri serta martabat seluruh rakyat Aceh di muka bumi ini.
Seharusnya jika Sofyan Dawod dan Irwandi Yusuf "gentlement" dapat kembali dengan PA. Bukankah lebih mudah memperbaiki perahu yang bocor daripada membuat perahu baru? Karena perahu itu telah pernah berlayar sekali dan sukses mengarungi ombak besar di lautan dan juga telah teruji kekuatannya serta tercatat dalam sejarah Aceh menjadi perahu yang terkuat diantara perahu-perahu lainnya. Jangan mudah dikendalikan oleh mereka yang hanya meminjam sekaligus mencoba mengecilkan politik PA.
Untuk diingatkan kembali, bahwa Pemilu legislatif 2009 PA berhasil memperoleh sebanyak 1,007,173 suara atau 46,91 persen dari total 2.266.713 orang Aceh yang menggunakan hak pilihnya. Dari 69 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), sebanyak 33 kursi dikuasai oleh PA dan 36 kursi terdistrubusi ke 11 partai lainnya. Ini merupakan bukti nyata bahwa PA merupakan partai lokal yang terkuat di Aceh.
Dalam Pilkada 2012 ini PA secara resmi mengusung kadernya sebagai calon Gubernur/Wakil Gubernur bersama 15 pasangan calon Bupati/Wakil Bupati dan calon Walikota/Wakil Walikota di seluruh Aceh.
Sudah cukup Aceh terlibat konflik selama 30 tahun, biarkan rakyat Aceh saat ini menghirup udara segar dalam perdamaian yang telah dicapai dengan sangat mahal ini, tanpa ada rasa permusuhan, tanpa ada rasa ketakutan, tanpa merasa dicurigai dan juga tanpa merasa dimusuhi.
Sungguh, membangun Aceh tidak mesti melalui partai, semua orang Aceh mempunyai kelebihan dan juga kekurangannya masing-masing. Mari kita satukan kelebihan kita untuk membangun Aceh ini yang lebih baik dan kekurangannya mari sama-sama kita perbaiki.
Syardani M.Syarief (Teungku Jamaica) adalah mantan jurubicara militer GAM Wilayah Samudra Pase/mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala. [sumber:atjehpost.com]